Mahatir #part3

“Bisakah kau memastikan semuanya?” tanyanya sambil sesenggukan, berusaha keras agar air matanya tidak tumpah

“Apa aku akan terkena karma jika aku menolakmu? Jika semua laki-laki di dunia ini muslim, maka yang terbaik adalah yang shalih. Jika semua laki-laki sudah shalih, maka yang terbaik adalah yang sekaligus menshalihkan. Tapi masalahnya tidak semua orangtua melihat keshalihan seorang laki-laki dengan cara pandang yang sama. Jadi ku mohon, yakin kan orang tuaku dulu” lanjutnya setengah terisak, kali ini jauh lebih tenang.

“Kau temanku sejak kecil, kau tahu fase hijrahku dari awal, aku belum pantas dikatakan muslimah yang baik, dan rumor itu,,apa aku akan tetap terkena karma jika menolak seorang shalih sepertimu?” ulangnya lagi, “bagaimana mungkin aku menolakmu, tapi aku statusku sebagai anak orang tuaku jelas masih berlaku, kau tidak akan menjadikanku seorang buronan kan?”

Hening seketika, waktu seolah berhenti.

“wanita hanya butuh diperjuangkan, karena nantinya surga di telapak kaki ibunya di akuisisi suaminya”

“Mahatir,, jawab aku!”

***

Sebagai anak satu-satunya, aku bisa merasakan apa yang ibu rasakan dulu ketika ayah meninggal. Iya, wanita 40an yang ditakdirkan sebagai ibuku itu seolah memiliki dunianya sendiri. ayah meninggal saat asmanya kambuh, malangnya ibu tidak bisa melihat berada disampingnya karena terpisah jarak. Pekerjaan ayahku di perkebunan kelapa sawit amat melelahkan, aku mendapati pesan WA di layar HP ibu dengan sapaan penutup yang hampir selalu sama

“bersabarlah sayang, demi anak kita, percayalah ini tidak akan lama” Lalu disempurnakan dengan emoji kiss ala WA versi jaman itu.

Kenyataan yang ada justru sebaliknya, “tidak akan lama” mungkin hanya versi ayah, 1 minggu setelah itu ia memang meninggalkan kami semua selamanya. Aku, yang bahkan sama sekali tidak tahu sosoknya pun merasa kehilangan, dan efeknya sangat besar kepada ibu. Ia masih percaya dengan pernyataan “tidak akan lama” itu. ia membesarkanku dengan angan-angan sosoknya.

“jangan kotor-kotoran main sepak bolanya, Mahatir. Sebentar lagi jumatan, kau tidak akan membuat ayahmu menunggu dengan mandi satu jam kan?” ucapan yang sering ia lontarkan kala usiaku menginjak 10 tahun, sambil mengacak-acak rambutku. Aku hanya membalasnya dengan mata berkaca-kaca yang ku tahan sedemikian rupa. Ibu,

“Setelah les langsung pulang ya nak, pesawat ayah sudah take off, hari ini ayah pulang, ibu sudah menyiapkan masakan kesukaan ayahmu” ujarnya sambil setelah aku mencium tangannya, pamit ke sekolah. matanya amat berbinar, tapi aku melihat kepedihan yang jauh lebih terang di kedalaman bola matanya.

Aku segera berbalik badan, tak kuat membendung air mata yang tumpah tidak pada posisinya.

Belum lagi saat pertemuan orang tua murid, ibu selalu bilang ke guruku kalau ayah masih bekerja di Kalimantan, jadi ia yang menggantikan. Untunglah guruku memahami akan hal ini, ia tak segan lagi bertanya kepadaku seolah aku adalah orangtua ibuku. Beliau mengerti kondisinya, menganggapku seolah aku yang merawat dan membesarkan kenangan itu. Sayangnya hal ini tidak ku dapati pada orangtua Carla, orangtua yang sangat aku harapkan dapat memahami situasinya dengan baik tetapi, justru sebaliknya.

Oh Allah, apa adegan laki-laki menangis hanya ada di film India dan Korea? Aku Mahatir, seorang yang bukan berdarah India, juga bukan oppa-oppa Korea. Maka izinkan aku menangis di hadapanMu, hanya sebagai seorang hamba

#bersambung

 

 

 

Aku bukan siapa-siapa mu

 

4 pemikiran pada “Mahatir #part3

Tinggalkan komentar