Selamat sore,,
Sunset yang ku nantikan akhirnya muncul juga. Terlebih bila aku menyaksikannya di pantai dengan pemandangan laut lepas tiada batas. tetapi tenang saja pemandangan alam didepan mataku ini tak kalah hebatnya untuk melihat sunset, hamparan pematang yang tak ubahnya kasur hijau empuk. Bergoyang-goyang diterpa angin. Dengan sigap ku tarik napasku dalam sekali hirup seolah menjawab lambaian nyiur kelapa pantai. Satu-satu bayangan itu sejenak terlintas cepat, lantas tenggelam bersama kedipan mataku. Satu per satu lintasannya makin melambat. Seiring mataku terpejam agak lama. Kejadian itu seakan memaksa otakku untuk mengingatnya.
“La jawab pertanyaanku” bisikku mendesis pelan. Yang ditanya malah urung menjawab, tangan kirinya memeluk kedua lutut sedangkan tangan kanannya asyik menulisi pasir pantai. Angin hendak membawa kami entah kemana, tetapi ia hanya berhasil menyapu ujung-ujung rambut kami bahkan bayangannya saja tidak.
Tiga puluh detik berlalu, Carla sempurna membalik badan. Tatapannya lurus menghadapku “Tegar, bukankah sudah berapa kali ku katakan padamu. AKU MENCINTAIMU DENGAN SEUTUHNYA, tidak peduli apa kekuranganmu” Carla akhirnya menjawab keras tanpa desisan sama sekali.
“Aku menyesal bertanya padamu, tapi aku senang jawabannya selalu sama“ candaku garing.. Sunset mulai menjajaki kaki cakrwala, merapat ke ufuk barat. Kami beradu dengan pemahaman cinta masing-masing. Senyap.
♫♫♫
Selaksa waktu masa saat padi-padi menguning, dan bunga-bunga rumput pinggiran taman ikut bersemi. ternyata hatiku juga ikut bersemi. bibirku tak berhenti mengulum senyum yang mengembang. bukan karena para petani itu yang berhenti mengolok2 kakiku yang menghilang. Namun, seorang gadis berambut gelombang itu melingkarkan pilinan mahkota dari bunga rumput kepalaku. Seperti aku seorang raja yang telah menaklukkan lebih dari separuh dunia saja. Saat itu wajahku memang selalu tertunduk dalam.kusut, kesal tapi tak boleh menangis, jelas saja aku tak boleh sedikitpun menitikkan air mata karena statusku “Laki-Laki”
“hoy,,cah buntung,,nangapa koe meneng wae, arep nangis yo? huuh cah lanang kok nangis, ngisin-ngisinke aku wae”1
“cah wedo gimbal urung adus maning, awas koe ora meneng tak gunduli rambutmu”2
“wkwkwkwk,,arep nggunduli aku anggo opo haah? yo wes toh, kita damai wae lah, aku sing ngalah “ 3 tawanya puas sambil menunjukkan sepotong jari kelingkingnya.
aku masih acuh urung memandang, hatiku makin memanas dipanggil cah buntung. Tangan kiriku memeluk tangan kananku yang tiada.
Tidak menunggu sepersekian menit, tangannya cekatan memasang mahkota itu di kepalaku
“hehe, ojo mangkel karo aku maning yo, Jas Kidding,,jas Kidding prend”4
Itu belasan tahun saat aku pertama kali mengenal Carla di kota kami. Ia gadis yang ceria, baik, apa adanya tapi juga ceroboh, Belasan tahun yang membuka mata ini mengenal arti hidup dan kesempurnaan, juga belasan tahun tahun yang mampu menggerakkan tangan kiriku hingga ia jauh lebih berfungsi menggantikan tangan kananku.
Percayalah, anggap saja kau membeli lukisan-lukisan seniman hebat hasil lelang dari museum. Lukisanku pernah mendapatkan penghargaan lukisan terbaik di museum terkenal dengan tema Negara dan rakyat. Itu juga atas ulah Carla. Dia semangat sekali kalau bercerita tentang Surga dan Neraka, macam pernah mengunjungi saja bocah itu. Tentu saja versi cerita Carla sangat tidak akurat, banyak yang ia karang-karang sendiri, tapi cukup membuatku terbayang lebih dalam dan tanganku bersinergi dengan otak. hingga cukup dengan pulpen saja aku bisa melukis.
Yang menyenangkan adalah saat musim panen bawang merah. Setiap selesai membantu ayah, aku dan Carla sudah siap dengan kresek masing-masing. Kami siap berburu bawang merah liar yang sengaja tidak diambil pemiliknya. Istilahnya Gresek, kalau sudah banyak lantas dijual pada juragan bawang merah disekitar sawah. Bermain sambil bekerja. Benar-benar hebat suatu hari aku dan Carla pernah mendapat uang lebih dari Rp 50.000 dari hasil Gresek kita setengah hari. Dengan tampang memelasku ditambah rambut gelombang Carla yang sengaja diacak-acak akhirnya juragan itu luluh juga. Saat uang itu sudah ditangan, segera saja kami berterima kasih, balik badan dan terang saja, nyengir menahan tawa. Iya, zaman itu uang 50.000 sangat besar nilainya karena inflasi belum setinggi sekarang.
♫♫♫
Perlahan-lahan aku dan Carla menjadi sahabat yang tak mungkin dipisahkan. Kami mulai mengerti satu sama lain, karakter dan latar belakang kehidupan kami. Tetapi jauh lebih banyak Carla yang mengerti tentangku. Dengan kecepatan waktu hidupku berubah. semuanya bak gelombang ombak. Sementara rasa itu juga ikut bermekaran. Dan aku semakin dewasa melaluinya.
Ketika waktu masih menjadi milikmu, maka jangan pernah anggap ia tak ada. Karena waktu adalah kehidupan. Jika digunakan untuk membaca, akan menjadi sumber kebijaksanaan. Jika digunakan untuk berfikir, akan menjadi kekuatan Jika digunakan untuk berdoa akan menjadi keberkahan dan rahmat. Jika digunakan untuk bekerja akan membawa keberhasilan Dan jika digunakan untuk beramal, akan menghantarkan menuju surga .
“Waktu tak pernah peduli pada apa dan siapa yang ia putari. Ia tak bertanya padamu tentang apa masalahmu, kemana tanganmu bukan? Namun Ia bisa menjadi obat terampuh saat semua obat paling mujarab yang direkomendasikan dokter tak berfungsi. Ia terus saja berjalan bahkan dan ia berlari sesuai dengan fikiran manusia. Kau tahu maksudku bukan?’’
“Iya aku tahu maksudmu. Aku ingin menggenapkan waktuku bersamamu dengan sebuah ikatan pasti la, kita tidak mungkin terus seperti ini!” tatapanku tajam penuh harap
“Iya, Aku tak pernah meragukanmu Tegar. Sama sekali tidak, Jika sebelah tangan kirimu saja dapat membuat lukisan hebat. Maka dengan jiwa dan hatimu juga ke’Tegar’an namamu, tentu saja aku sangat percaya padamu. Dan kau harus meyakinkan ayahku, kau pasti bisa melakukannnya Tegar” tatapan Carla tak kalah tajam. Sebelah kiri tanganku masih menggenggam tangannya.
Tiga hari yang menegangkan, tiga hari yang sangat menentukan. Walaupun aku yakin dengan jawaban Carla, tapi dengan ayahnya aku sungguh tak yakin.
Ternyata bukan kabar baik yang ku dapatkan, juga bukan kabar buruk tapi sekedar menunggu kepastian yang membuatku harus menjadi orang-orang sabar. Tentu saja ini karena tangan kananku yang nihil. Ayah Carla jelas ragu dengan hanya 1 tanganku saja yang akan menafkahi anak semata wayangnya kelak. Apalagi itu hanya tangan kiri! Bisa apa?
Setiap tapak jalanku tak ku biarkan satu bayangan melintas tanpa ia memberi ide. Sepuluh langkah tapak kakiku sudah menginjak berates-ratus pasir, semuanya nihil ide. Tujuh langkah terbuang percuma untuk menjawab sapaan orang
“Lam laikum Tegar, kusut nian wajah kau” sapa bang Togar sok akrab
Sapaan kedua, ketiga, keempat ku biarkan ..
“Assalaamualaikum nak Tegar, mampir dulu lah sini, kau kemarin belum mengaji ya” sapaan hangat pak kyai membuatku kaget sekaligus malu. Spontan wajahku memproduksi senyum tak berdosa dengan hasil samping garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Kenapa pula wajahmu ni, sekali-kali senyumlah yang manis, biar bapak tak usah beli gula kalau bikin teh” kami berdua tertawa lebar.
Singkatnya pertemuan dengan orang alim macam pak haji Hisyam memang sering memberi berkah. Setelah ku ceritakan semua yang ku lakukan dan maksud seriusku. pak kyai kharismatik itu langsung memerintahkan ayah Carla menikahkannya denganku, tentunya dengan memberi pemahaman baik terlebih dahulu, sehingga ayah Carla mau ikhlas menerimaku. Dan akhirnya hidupku sempat mengalami kesempurnaan.
OK aku akan selalu percaya GALAU (God Always Listening Always Understanding)..hatiku sumringah.
♫♫♫
Rasakanlah sejenak angin bersih yang kau dapatkan dari kebahagiaanmu, sebelum ia bercampur debu. Akhirnya senyum-senyum kami merekah indah, meski tak lama, mungkin hanya berjalan dari musim semi sampai kembali ke musim dingin. Lantas ia membeku untuk selamanya. Garis-garis sinar itu masih terekam kuat di otak kananku. Sinar truk yang menutup sinar istriku Carla. Malam membuat catatannya. Saat tangan kiriku lunglai melukis waktu. Aku harus bersiap dengan semuanya.
Aku bahkan sudah kenyang dengan teori waktu saat umur ibuku ikut redup ke dalamnya. Namun setiap kali datang kejadian buruk, teori-teori itu seakan lepas. Landas dan tandas. Otakku mengerti tetapi hatiku tak mau berkompromi. Susah payah aku meneguhkan hati… Dan kini waktu benar-benar menjadi milikku saat semuanya seolah berdilatasi menghujam cakrawala kandas sembunyi dibalik bumi.
Lihatlah aku, aku yang tak seTegar namaku. Kini aku baru mengakui bahwa menangis itu penting. Dahulu aku tak percaya dengan pernyataan orang-orang kalau tangisan kering itu lebih menyakitkan dari dari tangisan basah. Tentu saja karena aku seorang laki-laki yang amat menjaga imej. Dan ternyata memang menyakitkan, dua waktu yang membuatku sungguh tak berdaya, dua waktu menyakitkan itu benar-benar membuat ke’lelaki’anku luruh runtuh sekejap. Dua-duanya karena wanita dan entahlah adakah waktu ketiga yang persis sama ataukah melebihi ambang batas ketegaranku? Aku tak tahu.
Ah aku tahu, kau sangat anti dengan pekerjaan berandai-andai. Kau sering memarahiku saat aku hal itu ku lakukan. Hidupmu terlalu nyata Carla, dan hidupku terlalu maya untuk bisa kau gapai
“Andai aku diberi jatah air mata hanya satu barel untuk sebuah kebahagiaan dan kesedihan, maka akan ku bagi untuk orangtuaku seperempat saja, untuk keluarga dan seluruh teman-temanku juga seperempat saja. Dan akan aku berikan separuh air mataku hanya untukmu karena bagiku kau adalah orangtua, kakak, teman juga kekasihku” Rayuan gombalku yang berubah kenyataan. Kini aku berharap tuhan melebihkan air mataku lebih dari satu barel agar aku bisa menangis bersamamu dalam sebuah rasa syukur atas kebahagiaan kita hingga ia mengalir ke salsabil surga kelak.
♫♫♫
Kau memang benar, Carla. Pada hakikatnya kesempurnaan adalah saat seseorang merasa cukup. Kesempurnaan itu bukanlah siapa lebih apa dari siapa. kesempurnaan adalah milik Tuhan dan masing-masing kita telah memiliki definisi kesempurnaan masing-masing. Mungkin para pejabat itu merasa sempurna saat mereka sudah menguasai Negeri ini. para petani sudah sempurna menjadi petani dengan segala kepasrahannya. Para astronot merasa sempurna saat mereka menginjakkan kaki di bulan.
Begitu juga dengan aku yang sudah sempurna dengan memilikimu. Hingga harus berkali-kali aku memuji kesempurnaan Tuhanku.
Keterangan
1hoi ,,anak cacat, kenapa kamu diam aja, mau nangis ya? huuh anak laki-laki kok nangis, malu-maluin aja
2 anak perempuan gimbal, belum mandi lagi, awas kamu gak diem, aku botakin rambutmu
3wkwkwkwk,,mau botakin aku pake apa haah? ya sudah lah kita damai saja, aku yang ngalah
4hehe, jangan marah sama aku lagi ya, Jas Kidding,,jas Kidding prend”
PS : entah kenapa saya suka sekali dengan bunga lili, sampai2 males banget nyari nama tokoh selain Lily. naah, nama lain bunga Lily itu Calla, jadi saya plesetkan Carla. judul aslinya “Lukisan Waktu Lily”, sudah pernah dipublkasikan dalam antologi cerpen sederhana. selamat membaca, semoga ada yang bisa diambil 🙂